Haram Bagi Muslim Rayakan Tahun Baru Masehi



Mediapenalaran.com - Antusiasme perayaan pergantian tahun baru Masehi setiap tahunnya sangat dinikmati dan ditunggu oleh masyarakat umum, tak terkecuali di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim.  Pergantian tahun kalender Masehi itu hampir selalu menjadi rutinitas perayaan yang tidak boleh terlewatkan oleh semua kalangan umur. 

Libur panjang kantor maupun sekolah yang beriringan dengan Natal menjadikan liburan tersebut biasanya diisi dengan berbagai kegiatan spesial. Mereka umumnya beralasan bahwa pergantian tahun adalah kesempatan yang hanya datang setahun sekali, maka apa salahnya jika dirayakan atau diisi dengan kegembiraan melebihi hari-hari biasanya.

Sejarah Tahun Baru Masehi

Terkhusus bagi umat muslim, merayakan tahun baru Masehi sejatinya merupakan aktivitas terlarang.  Sebab, perayaan itu merupakan bentuk kebudayaan (hadlarah) dari luar Islam. Hari tahun baru di Indonesia jatuh pada tanggal 1 Januari karena Indonesia mengadopsi kalender Gregorian, sama seperti mayoritas negara-negara di dunia.

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Sebagaimana yang kita ketahui, Romawi yang terletak di bagian bumi sebelah utara mengalami 4 musim dikarenakan pergerakan matahari. Dalam perhitungan sains masa kini yang juga dipahami Romawi kuno, musim dingin adalah pertanda ’mati’ nya matahari karena saat itu matahari bersembunyi di wilayah bagian selatan khatulistiwa.

Sepanjang bulan Desember, matahari terus turun ke wilayah bahagian selatan khatulistiwa sehingga memberikan musim dingin pada wilayah Romawi, dan titik terjauh matahari adalah pada tanggal 21-22 Desember setiap tahunnya. Lalu mulai naik kembali ketika tanggal 25 Desember. Matahari terus naik sampai benar-benar terasa sekitar 6  hari kemudian.

Karena itulah Romawi merayakan rangkaian acara ’Kembalinya Matahari’ menyinari bumi sebagai perayaan terbesar. Dimulai dari perayaan Saturnalia (menyambut kembali dewa panen) pada tanggal 23 Desember. Lalu perayaan kembalinya Dewa Matahari (Sol Invictus) pada tanggal 25 Desember sampai tanggal 1-5  Januari yaitu Perayaan Tahun Baru (Matahari Baru)

Januari dijadikan sebagai awal tahun karena diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru.

Bukan Ajaran Islam

Tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Bahkan di Barat tahun baru identik dengan budaya hura-hura. Semua bentuk perayaan tersebut jelas-jelas merupakan tindakan penyimpangan terhadap akidah dan syariah yang diturunkan Allah SWT.  Perayaan tahun baru adalah budaya yang dimiliki oleh kaum di luar Islam.

Namun mengapa saat ini kaum muslim terang-terangan ikut merayakan, atau membesarkannya meski dengan sekedar ucapan selamat tahun baru, atau bersuka ria memadati tempat-tempat hiburan khususnya pada malam pergantian tahun.

Walaupun memang menggunakan kalender Masehi yang notabene menjadi patokan penanggalan internasional.  Akan tetapi bukan berarti kaum muslim layak membesarkan atau merayakan pergantian tahun.  Sebab, merayakan hari pergantian tahun (tanggal 1 Januari) sudah identik dengan budaya tertentu. 

Bagi muslim pergantian tahun tidak bernilai apa-apa selain bergantinya waktu (dari tanggal 31 Desember menjadi 1 Januari).  Islam tidak memandang adanya keutamaan pada tanggal tersebut.  Maka, mengapa mereka menganggap bahwa kehadiran 1 Januari adalah masa spesial yang menuntut perayaan.

Sesunguhnya, yang terjadi adalah infiltrasi budaya kufur di tengah-tengah kaum muslim. Kini, sebagian besar muslim telah benar-benar terseret dalam budaya kufur tersebut. Mereka tidak merasa bahwa perayaan tahun baru adalah hadlarah (budaya) asing.  Bahkan mereka menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.

Pandangan seperti ini tentu saja keliru.  Inilah bentuk keberhasilan musuh-musuh Islam dalam menggiring kaum muslim agar terjatuh dalam budaya asing.  Mereka berhasil menggeser makna perayaan tahun baru yang sebenarnya sudah identik dengan budaya tertentu, dengan ajakan halus bernuansa kemanusiaan.  Tanggal 1 Januari berhasil dipaksakan sebagai hari raya internasional.

Padahal, sebuah hadlarah yang terikat dengan pandangan atau akidah tertentu selamanya akan mengikat bagi pemeluknya.  Demikian pula dengan perayaan 1 Januari, ia tetap lekat dengan budaya kaum merayakan di awal kelahirannya.  Oleh karena itu, kaum muslim yang merayakan tahun baru meski dengan aktivitas yang mubah hakikatnya telah terperangkap pada hadlarah asing.

Sesungguhnya Syariah Islam tidak mengajarkan perayaan selain pada dua hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.  Rasulullah Saw bersabda :

“Sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan ini (Idul Adhha dan Idul Fitri) adalah hari raya kita” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.).

Dalam hadist lain, dari Anas bin Malik ra. beliau berkata : Rasulullah Saw. tiba di Madinah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”Dua hari apa ini?”  Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” Rasulullah Saw. bersabda :

”Sesungguhnya Allah telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhha dan idul fithri.” [Shahih riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, an-Nasaî dan al-Hakim.]

Dengan demikian tanggal 1 Januari tidak layak mendapatkan pengagungan, apalagi perayaan, meski hanya dengan ucapan selamat.  Sebab, semua aktivitas tersebut adalah bentuk kegembiraan atas momentum tertentu yang tidak disyariatkan.  Terlebih, tanggal 1 Januari sudah identik dengan budaya di luar Islam.

Rasulullah Saw. juga pernah bersabda : ”Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).  Hadits ini sekaligus memperingatkan agar kaum muslim menjauhkan diri dari kebiasaan kaum di laum Islam.

Berdasarkan dalil-dalil di atas, haram hukumnya seorang Muslim merayakan tahun baru, misalnya dengan meniup terompet, menyalakan kembang api, menunggu detik-detik pergantian tahun, memberi ucapan selamat tahun baru, makan-makan, dan sebagainya. Semuanya haram karena termasuk menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar) yang telah diharamkan Islam. Kaum muslim haram melakukannya.  Apa yang terjadi saat ini menjadi bukti kebenaran sabda Rasulullah Saw.  Dari Abu Hurairah r.a , Rasulullah saw bersabda:

 “Hari kiamat tak bakal terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, seperti Persi dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR. Bukhari no. 7319). Wallahu a’lam.

Demikian pencakokan budaya paganisme yang telah tertananam di negeri-negeri muslim termasuk di Indonesia. Umat muslim harus cerdas dalam menilai segala ide penyesatan yang berkembang.[]
Previous
Next Post »