Mediapenalaran.com - Skripsi seharusnya mampu menjadi
bentuk pertanggung jawaban intelektual atau pembuktian secara akademis seorang
mahasiswa yang nantinya menjadi syarat kelulusan dan ditetapkan sebagai seorang
Sarjana.
Apa jadinya jika
Skripsi atau tugas akhir itu tidak dikerjakan oleh mahasiswa, tapi hasil jasa
orang lain apalagi Dosen. Fenomena semakin banyaknya kampus di daerah
(Kabupaten/Kota) justru menjadi boomerang bagi mahasiswa dan oknum Dosen.
Mahasiswa ingin
serba praktis sedangkan Dosen mencium potensi rupiah yang menggiurkan. Kita
tentu pernah menyaksikan, fenomena mahasiswa tingkat akhir yang tanpa susah
payah duduk di depan komputer, tanpa susah menelaah buku-buku, tanpa bingung
menyelesaikan perhitungan hasil penelitian, tanpa terbeban pembahasan akhir
skripsi, karena ada orang lain yang membuat skripsinya, ia tinggal memberi
jatah hidup kepada pembuat skripsi itu dengan tarif antara dua juta sampai lima
juta Rupiah. Selesai !
Jadilah skripsi
mahasiswa sebagai ajang menarik mengumpulkan pundi-pundi Rupiah. Kita tidak
menutup mata, Realitas dilapangan banyak oknum Dosen yang berceloteh “Jika
ingin cepat selesai, Skripsi saya buat!" atau seolah tidak punya
malu Mahasiswa meminta "Bapak/ibu tolong buatkan Skripsi saya, supaya
saya cepat Wisuda!" Ironisnya, hal itu tidak tabu lagi di kalangan
mahasiswa.
Mahasiswa tinggal
tunggu jadwal sidang dan menerima keputusan lulus dengan bahagia! Mahasiswa
cukup santai menerima pembimbing, karena dirinya tidak susah payah memikirkan
skripsi dan coretan panjang bisa dihindari. Namun, saat berhadapan pada ujian
meja penjelasannya hancur dan memalukan.
Hal ini tentu
berpengaruh negatif bagi sistem Pendidikan kita khususnya citra Perguruan Tinggi
yang mempunyai misi melahirkan Lulusan yang cerdas dan beradab. Sebab, praktek
seperti ini dapat membuat mahasiswa tidak mau berproses normal, jadilah meraka
"pekerja praktis" yang kadang mendapatkan pekerjaan saja harus
nyogok, hingga hasil kerjanya pun di kantor/lapangan serba manipulatif.
Walaupun Dosen
tersebut sekadar berniat baik membantu mahasiswanya agar selesai tepat waktu.
Itu tentu bukan menjadi alasan. Toh juga banyak mahasiswa yang selesai tepat
waktu dengan skripsi buatan sendiri. Parahnya lagi, sang Dosen ini berdalih
bahwa pekerjaannya membuat skripsi itu halal karena hasil jeripayah sendiri,
setiap tahunpun pekerjaan ini ia jalani.
Mungkin kita perlu
ingatkan kembali bahwa tugas Dosen itu mendidik mahasiswa untuk menggunakan
akal sehatnya bukan sebaliknya. Padahal kalau Mahasiswa mau bersabar dan tekun
dalam belajar, pasti semuannya bisa dilalui.
Terkadang kita menemukan
teman yang terkatung-katung karena tak kunjung mendapatkan ACC dari Dosen. Ada
sebagian dari kita juga yang depresi karena Dosen mencoret skripsinya tanpa
belas kasih walaupun telah diperbaiki berkali-kali dengan sangat berhati-hati.
Kesulitan itu tidak selamanya buruk bagi kita.
Hal ini justru
menempa kita agar jadi lebih baik dalam penguasaan bidang ilmu yang kita
pelajari selama bertahun-tahun dan dapat melatih mental kita agar tidak gampang
berputus asa jika sedang diuji dengan berbagai permasalahan hidup terutama di
dunia kerja nanti. Jangan nodai perjuanganmu selama bertahun-tahun hanya karena
malas mengerjakan skripsi.
Orangtuamu sudah
menaruh harapan yang sangat besar di pundakmu. Jangan kecewakan mereka yang
telah banyak berkorban untuk kamu hingga saat ini. Apa kamu tidak perduli ?
Solusi
Sebenarnya
mengerjakan skripsi itu gampang, pikiran kita saja yang membuat seolah menyusun
skripsi itu susah. Padahal banyak teman kita bisa menyusun skripsi secara
mandiri.
Tips sederhananya,
kita harus berani memulai dulu. Mengusahakan fasilitas pendukungnya seperti
meminjam/membeli Leptop atau minimal Flashdisk untuk menyimpan data. Pedoman
dan Buku banyak di Perpustakaan atau Internet. Selain itu, kita harus banyak
mengambil pelajaran dan motivasi pada teman kita yang telah selesai
mengerajakan skripsi. Masalah bimbingan Dosen itu relatif, bersabar dan
berdoalah. []