Filsafat, Ilmu dan Islam


Mediapenalaran.com - Sebagaimana di berbagai Perguruan Tinggi pada umumnya, disadari bahwa diantara mata kuliah dasar yang dianggap penting untuk membentuk kerangka pikir mahasiswa sebagai insan akademis adalah mata kuliah ‘Filsafat Ilmu’.

Dewasa ini, banyak sarjana-sarjana Muslim yang merasakan bahwa mata kuliah Filsafat Ilmu yang mereka terima di berbagai Perguruan Tinggi, mengandung muatan-muatan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Misalnya, adalah penolakan terhadap wahyu sebagai Sumber Ilmu, sehingga Ilmu hanya dibatasi dari sumber-sumber pasca indra (empiris) dan akal (rasional). Sehingga Filsafat harus dibebaskan dari dasar agama, dan sebagainya.

Ada beberapa pendekatan yang dipilih manusia untuk memahami, mengolah, dan menghayati dunia beserta isinya. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah filsafat, kebudayaan dan agama.

Filsafat adalah usaha manusia untuk memahami atau mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya. Bidang Filsafat sangat luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkauan oleh pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab pernyataan-pernyataan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa konsep dan Filsafat Ilmu yang secara dominan diajarkan di berbagai Lembaga Pendidikan saat ini adalah konsep Ilmu dalam perspektif Sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) yang tidak mengarahkan pada penguatan keimanan dan akhlakul karimah. Sebagaimana di tunjukkan pada kasus Korupsi, Narkoba, Seksual dan sebagainya yang melibatkan orang-orang bergelar Akademik tinggi.



Kekacauan Berpikir Filsafat

Patutlah dikhawatirkan, jika pengajaran tentang ‘Ilmu’ ini keliru konsepnya, maka akan berdampak pada amal. Sebab semuannya berakar pada Ilmu atau cara pandang tentang sesuatu.

Contoh sederahananya, dalam pelajaran Sejarah Tahun 2000 di Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdapat Bab Pembahasan sejarah Manusia Purba. Secara empiris telah ditemukan fosil atau kerangkan Manusia yang menyerupai Kera/Monyet, sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa di zaman dahulu terdapat Manusia Kera dan terus berevolusi hingga hari ini menjadi bentuk yang sempurna. Tentu ini bertentangan dengan wahyu yang menyatakan bahwa Manusia Pertama adalah Adam dan Hawa yang tidak ada satu keteranganpun menyebutkan mereka menyerupai bentuk kera.

Kerusakan ilmu saat ini sedang menimpa Umat Islam Khususnya di Indonesia. Di Lembaga Pendidikan Umum terjadi ignorance (kebodohan) terhadap ilmu agama. Banyak sekali sarjana-sarjana dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu yang tidak bisa membaca Al-Qur’an atau memahami ajaran-ajaran pokok agamanya. Padahal ilmu agama adalah ilmu yang wajib dimiliki (fardlu ‘ain) oleh setiap muslim. Demikian juga, semakin bertambah ilmu semestinya semakin bertambah pula keimanan seseorang akan Rabbnya. Akan tetapi yang banyak terjadi, semakin pintar seseorang dalam ilmu pengetahuan alam, misalnya, tidak semakin menambah keyakinannya akan Rabbnya. Pemisahan nilai-nilai ketuhanan dari setiap ilmu yang dipelajari telah menyebabkan anak didik menjadi sekuler dari nilai-nilai agamanya.

Sementara itu, di Lembaga Pendidikan Islam terjadi confusion (kekacauan) dalam ilmu-ilmu agama. Gejalanya, sudah menyebar dan biasa di kenal sebagai “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai serta mengakibatkan kegagalan berpikir yang pada gilirannya menggerogoti keyakinan dan akhirnya menyebabkan kekufuran.

Gejala dari orang yang mengidap kanker ini, di antaranya suka berkata, “di dunia ini, kita tidak pernah tahu kebenaran Absolut (pasti). Kebenaran itu relatif. Agama itu mutlak, sedang pemikiran keagamaan relatif. Semua agama benar dalam posisi dan porsinya masing-masing.” Tidak ada yang bisa mengklaim benar; dan ajaran-ajaran yang dikandung oleh kalam Allah swt juga bisa disesuai dengan zaman, seperti jilbab, hukum potong tangan, aturan pernikahan dll.

Gejala kanker seperti disebutkan di atas saat ini menjadi bagian dari kurikulum di Lembaga Pendidikan. Di sekolah-sekolah ditanamkan apa yang disebut dengan multikultularisme. Misi utamanya menanamkan keyakinan bahwa Islam itu bukan satu-satunya agama yang benar. Kemudian diajarkan dan ditanamkan pluralisme agama; keyakinan bahwa kebenaran ada pada semua agama.

Ilmu dalam Perspektif Islam

Epistemogis secara ringkas disebut sebagai “theory of knowledge” berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa meraih ilmu. Sementara itu, knowledge atau ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Islam, khususnya, agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Al-Quran adalah kitab yang begitu besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan keilmuan. Ini, misalnya, tergambar dari penyebutan kata “al-ilm” dan derivasinya yang mencapai 823 kali.

Ilmu merupakan produk dari pandangan tentang agama, alam, kehidupan, manusia, bangsa, budaya, peradaban, karena itu mengadung nilai dan kepercayaan sehingga ilmu tidak boleh bebas nilai. Prinsip-prinsip epistemologi Islam perlu digali dari pandangan Islam untuk memperoleh hubungan pemikiran yang tentunya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits serta tradisi Intelektual Islam. Epistemologi Islam memiliki kekhasan yang tidak dimiliki epistemologi barat ataupun peradaban lainnya yang pernah ada.

Dalam pandangan Islam yang membentuk epistemologi Islam, secara ontologis (realitas atau kenyataan konkret) terdapat dua alam yang dikenal dengan sebutan yaitu alam metafisika (alam al-ghayb) dan alam fisik yang tampak. Alam metafisik atau alam absolut tersebut tidak dapat diketahui manusia kecuali melalui wahyu karena hanya Allah swt yang mengetahui sesuatu yang gaib, sekalipun Rasul saw penyampai wahyu pun tidak mempunyai pengetahuan atasnya, kecuali apa yang diwahyukan kepadannya. Sebagaimana surah Al-An’aam ayat 50.

Melalui penjelasan di atas disimpulkan bahwa objek ilmu dalam Islam tidak semata-mata berkaitan dengan objek fisik atau yang tampak pada indra dan pikiran manusia, namun ia mencakup objek fisik dan metafisik. Oleh karena itu, kebenaran Ilmu atau hal-hal yang mengandung nilai Ilmiah dalam epistemologi Islam, tidak hanya mencakup hal-hal yang bisa dijustifikasi, diverifikasi atau difalsifikasi oleh fakta empiris dan dirasionalkan melalui eksperimen atau logika semata.[]

Tulisan ini disarikan dari Buku “Filsafat Ilmu; Perspektif  Barat dan Islam. Dr Adian Husain, et. al. Jakarta: Gema Insani, 2013.”
Previous
Next Post »