Mediapenalaran.com - Tulisan ini kami susun saat pelaksanaan UN tahun 2017. Namun pada kesempetan ini kami lebih fokus mengurai beberapa fenomena yang kami telusuri pada saat UN SMA sederajat di tahun sebelumnya.
Sebagaimana
yang kita ketahui bersama bahwa kelulusan peserta didik pada beberapa tahun
terakhir sudah tidak lagi dititik beratkan pada standar nilai UN dari
Kementerian Pendidikan. Oleh Karena kelulusan peserta didik ditentukan oleh
satuan pendidikan, maka sekolah/madrasah memegang amanah yang sangat besar
terkait kelulusan peserta didik.
Meski
tidak lagi memakai standar UN untuk kelulusan peserta didik, masih saja
ditemukan penyimpangan seperti beredarnya kunci jawaban bagi para peserta UN
dan sebagainya. Hal tersebut telah menjadi rahasia umum, serta seolah menjadi
budaya yang terus dilestarikan.
Target
kelulusan 100 % serta persaingan antar sekolah/madrasah untuk meraih nilai
tertinggi menjadi salah satu faktor pemicu munculannya penyimpangan di UN. Demi
mendapatkan pengakuan dari Dinas (pemerintah) serta sekolah/madrasah setempat
dan demi mempertahankan gengsi peserta didik pun menjadi korban.
Pembodohan
Pola
pendidikan yang menyimpang seperti ini jelas adalah pembodohan bagi para
peserta didik. Imbasnya, para peserta UN lebih senang menunggu kunci jawaban
dari gurunya ketimbang berusaha mengisi jawaban berdasarkan kemampuannya
sendiri. Parahnya lagi, para peserta UN menjadi malas belajar karena sudah
yakin bahwa mereka pasti diberi kunci jawaban.
Praktik
negatif ini juga kami temui pada satuan pendidikan yang berbasis agama di
Gorontalo, Dimana Madrasah yang seharusnya menanamkan nilai-nilai luhur
kejujuran justru ikut berperan merusak generasi ummat. Wajar bila banyak
masyarakat yang pesimis dengan penyelenggaraan pendidikan kita.
Kerusakan
moral dan mental anak bangsa merupakan cerminan betapa pendidikan kita cukup
menghawatirkan. Padahal pendidikan merupakan pilar utama pembangunan bangsa dan
guru adalah unjuk tombak dari pendidikan.
Terkikisnya Profesionalisme Guru
Ketika
pendidik tidak lagi mendidik, maka harapan akan terwujudnya pendidikan yang
berkualitas telah pupus. Kami percaya masih banyak guru yang tidak ingin
menggadaikan profesionalmenya dan tidak mau terlibat dalam penyimpangan UN,
namun fakta dilapangan juga menunjukkan hal sebaliknya.
Laporan
yang kami kumpulkan mengungkap di salah satu Madrasah tersebut terjadi upaya
kecurangan dalam hal pemberian kunci jawaban dari pihak sekolah (guru) kepada
peserta UN.
Pelaksanaan
Try Out, Pengayaan dan Program Asrama siswa menjelang UN pun sekedar "menggugurkan
kewajiban". Alih-alih janji mengutamakan kualitas, yang ada hanya sekedar
mempertontonkan keseriusan.
Memang
tidak ada manusia yang sempurna, namun yang menyedihkan jika ada beberapa
peserta UN yang ingin berusaha jujur justru di bully oleh guru karena hasil
yang diusahakan tidak maksimal dengan cercaan "so pintar".
Tidak
ada tendensi apa-apa dalam tulisan ini selain perbaikan untuk semua. Prestasi
memang penting, tapi yang lebih penting lagi bagaimana kita berproses secara
jujur untuk mengejar prestasi.
Harapan
yang terselip dalam mimpi UN tahun ini dan tahun-tahun berikutnya adalah UN
yang berbasis kejujuran. Semoga terwujud. Aamiin.[]